Bagian Pertama
Pembangunan
Mamminasata dan Dampaknya di Pedesaan
A. Pengantar
Pada awal tahun 80-an
berkembang wacana untuk mengembangkan kota Makassar menjadi sebuah wilayah yang
terintegrasi dengan wilayah-wilayah penyanggah di sekitarnya. Diskusi ini
kemudian berkembang di kampus-kampus oleh akademisi, didiskusikan di tingkat
pemerintah kota/kabupaten dan pemerintah provinsi hingga kemudian pada tahun
2003-2008 sebuh kajian yang lebih dalam mengenai pengembangan infrastruktur dan
wilayah kota yang kemudian disebut Mamminasata dilakukan oleh Japan International Cooperation Agency
(JICA). Hasilnya berupa rekomendasi pembangunan empat proyek jalan mamminasata
yang sekarang ini telah dan sedang dilaksanakan yakni Trans Sulawesi, Bypass
Mamminasata, Jalan radial Abdullah Dg Sirua dan Jalan radial Hertasning. Jalan
trans Sulawesi menghubungkan kabupaten maros, kota mkassar, kabupaten Gowa dan
kabupaten Takalar. Kemudian bypass mamminasata adalah jalan lingkar tengah yang
menguhubungkan Makassar dan kabupaten gowa.
Sementara jalan radial Abdullah dg sirua dan jalan hertasning adalah
jalan tembus yang akan menghubungkan pusat kota Makassar dengan jalan bypass
mamminasata.
Mamminasata adalah akronim dari empat nama
kota/kabupaten: Maros, Makassar, Sungguminasa dan Takalar. Tetapi makna
mamminasata kemudian berkembang bukan lagi sebagai sebuah akronim tetapi
istilah untuk sebuah mega proyek pengembangan kota dan pembangunan
infrastruktur jalan yang berbasis pada empat kabupaten kota yang terintegrasi
menjadi sebuah kota besar Maminasata. Integrasi wilayah ini terutama bertumpu
pada pembangunan infrastruktur – berupa pemeliharaan jalan lama, pembuatan jalan
baru dan rekomendasi empat proyek jalan mamminasa- dan pertumbuhan ekonomi yang
semakin luas. "Tujuannya untuk
memudahkan transportasi dan membuat kawasan pemukiman dan bisnis baru,".
Anggaran dana proyek pembangunan jalan mamminasata ini
berasal dari dana pemerintah pusat sebesar Rp 815 miliar, Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan sebesar Rp 271,69 miliar dan biaya pembebasan lahan ditanggung
oleh empat kabupaten/kota yang bersangkutan yang besarannya tergantung kesiapan
kabupaten masing-masing. Kepastian
anggaran turun setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional yang menyinggung
pembangunan jalur Mamminasata. Direncanakan pembangunannya dilakukan pada tahun
2010-1015. Hingga kini proyek pembangunan jalan yang telah rampung adalah jalan
tembus hertasning dan jalan ring road tengah yang menghubungkan Makassar dan
kabupaten gowa. Sementara jalan trans Sulawesi baru pada tahap pembebasan
lahan.
Tetapi meskipun belum semua proyek jalan telah
rampung, dinamika di tingkat bawah menjadi semakin dinamis. Dinamika ini
terutama berkaitan dengan semakin tingginya proses jual beli lahan oleh
investor, pertumbuhan sejumlah proyek perumahan, perubahan lahan pertanian
menjadi perumahan, pemindahan sejumlah kampus ke wilayah ini dan juga semakin
terdesaknya masyarakat petani local ke wilayah pedalaman akibat proses jual
beli atau proses pengambilalihan paksa lahan pertaniannya. Menurut pengakuan
bupati kabupaten gowa misalnya memproyeksikan ada 500 perumahan di kelurahan
pattalassang. Sementara sejak 2005 pemodal-pemodal besar sector property sudah
mulai membangun di wilayah ini. Di antaranya group ciputra yang menggandeng
mitra local Idris Manggabarani dan Rizal Tandiawan dalam proyek perumahan elite
citra land Celebes seluas 33 hektare di kelurahan paccinongan kabupaten gowa.
Idris terkenal sebagai pengusaha property di bawah bendera PT Nusasembada
Bangunindo, sedangkan Rizal adalah pemilik PT Suzuki Sinar Galesong yang kini
membangun kerajaan bisnis di sektor properti. Bahkan sekarang group ciputra di
bawah PT ciputra fajar mitra sedang membangun kompleks perumahan ekonomis di
kelurahan paccinnongan seluas 21 hektar. Ada juga BSA Land yang sedang
membangun real estate royal spring di atas lahan seluas 31 hektar di desa
samata kabupaten gowa.
Pertumbuhan pesat di sector property ini menyebabkan
perubahan lanskap, perubahan ruang,
perubahan tata guna lahan di wilayah-wilayah yang di lalui oleh proyek jalan
mamminasata ini. Bahkan lebih dari itu, wilayah-wilayah yang dilalui oleh jalan
mamminasata sekarang telah berubah dengan sangat cepat baik dari sisi ruang
(space), populasi, kondisi demografis dan hubungan-hubungan social yang kian
kompleks akibat adanya perumahan-perumahan baru di sekitar perkampungan lama
warga desa atau di atas lahan-lahan pertanian dan sengketa serta konflik
agrarian menjadi semakin meningkat. Menurut catatan badan pertanahan kabupaten
gowa telah terjadi 24 konfilk dan
sengketa agrarian di jalur-jalur yang dilalui proyek mamminasata di kabupaten
gowa. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 6 kasus.
Kondisi-kondisi yang semakin kompleks inilah yang
menjadi titik berangkat buku ini. Terutama
pada dinamika perubahan ruang dan perubahan-perubahan hubungan social serta
konflik yang terjadi seiring dan disebabkan –secara langsung ataupun tidak
langsung- oleh pembangunan proyek jalan
mamminasata ini.
B.
Tinjauan Pustaka
Penelitian
dengan tema mengenai perluasan kota pernah dituliskan dengan judul Ekonomi Politik Pertumbuhan Kota oleh
Ramlan Surbakti (1995)[1].
Tulisan ini mengulas mengenai dampak pertumbuhan kota bagi pertumbuhan wilayah
yang tidak adil antara wilayah pusat dan wilayah di luarnya. Tulisan ini lebih
jauh mengungkapkan bahwa perkembangan perencanaan pembangunan telah menyebabkan
ketidakadilan pembangunan, bukannya pemerataan pembangunan antara kota dan
desa.
Tulisan
lain yang mengulas masalah serupa adalah Meluasnya
Spekulasi Tanah Di Jabotabek oleh Bernard Dorleans (1994)[2].
Tulisan ini mengemukakan mengenai maraknya spekulasi tanah di sekitar Jakarta
akibat perluasan kota jakarta menjadi Jabotabek. Spekulasi ini menyebabkan
semakin tingginya harga tanah dan makin
tergusurnya warga miskin perkotaan ke wilayah pinggiran kota yang lebih jauh.
Bahkan,
dua tahun sebelumnya, di tahun 1992, Djoko Suryanto[3]
menulis Bias kota Besar Serupa Jakarta
yang mengemukakan perkembangan kota jakarta akibat muculnya ide pengembangan
mega kota Jabotabek. Ide Jabotabek, kata Djoko, adalah ide pembangunan kota
yang telah disebut oleh seorang konsultan Bank Dunia di tahun 1962. Karena itu
meskipun baru dicetuskan di sekitar tahun 1974 sebagai konsep pembangunan di
kota Jakarta, bukanlah suatu hal yang baru. Tulisan ini juga mengulas
pertumbuhan kota jakarta sejak abd ke-17 yang kemudian meluas wilayahnya hingga
kini. Ketiga tulisan di atas dimuat dalam jurnal prisma di tahun 1992,1994 dan
1995.
Pada
tahun 2009, jurnal Balairung mengangkat fokus mengenai perkembangan kota. Salah
satu tulisan di antaranya menjelaskan mengenai perkembangan kota besar yang
menimbulkan kerentanan berjudul Problematika
Kehidupan Kota Dan Strategi Menuju Suistainable City. Tulisan ini
diungkapkan oleh Hadi Sabari Yunus[4],
seorang ahli geografi perkotaan UGM. Dalam tulisannya, hadi mengulas mengenai
trend pengembangan mega city yang telah banyak dilakukan di berbagai tempat.
Beberapa contoh bisa disebutkan: klaang-Valley Corridor yang menghubungkan
Kuala Lumpu, Shah Alam dan Klaang; Jabotabek yang menghubungkan Jakarta, Bogor,
Tangerang Bekasi; Manila-Quezon d Filipina;Osaka-Kobe, Tokyo-Yokohama di
Jepang; Beijing-Tianjin Hongkong-Guangzhu di China; Seoul-Puson di Korea dan
Taipei-Kaosiung di Taiwan.
Studi
yang lebih dekat adalah Pembangunan
Mamminasata dan Proses Eksklusi sistem Nafkah Masyarakat. Studi kasus kabupaten
Maros, Kabupaten Gowa[5].
Tulisan ini merupakan skripsi sarjana di jurusan ilmu pertanianUiniversitas
Hasanuddin yang ditulis Rimarti Anggun Widiatri. Tulisan ini menggunakan teori
pembangunan, govermentality Fuchoult
yang dikonseptualisasi oleh Tania Murray Li dan teori The Power of Exclution Tania Li. Proyek pembangunan mamminasata
sebagai salah satu bagian proyek dalam MasterPlan Percepatan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) bertujuan untuk merangsang pertumbuhan
ekonomi dari aras perkotaan yang akan menarik investasi pihak swasta. Efek dari
pembangunan Mamminasata terhadap perubahan livelihood masyarakat setelah
lahannya dilepaskan, masyarakat memiliki daya penyesuaian (adaptability) yang
lemah, yakni semakin tingginya tingkat pengangguran, ketidakpastian dan
ketidakamanan mata pencaharian; ada pekerjaan namun serabutan, menjadi
komuter/migran sirkuler.
C. Pendekatan Teoritik
Produksi Ruang: Jalan Raya Sebagai Ruang
Jalan-jalan
modern di Hindia, selain banyak hal hebat yang dilakukannya, sejak awal menjadi
medan pertempuran dan ruang dimana orang belanda di koloni itu jelas-jelas tak
pasti tentang diri mereka sendiri. (2006;14)
Rudolf Mrazek
Ada banyak peran dan makna jalan bagi suatu
kota. Jalan menstrukturkan ruang kota. Ia membagi-bagi kota. Ia juga
menghubungkan berbagai tempat dalam kota. Pada setiap kota, jalan lahir
bersamaan jalan lahir bersamaan waktu dengan lahirnya kota itu. Di setiap kota
dapat ditemukan suatu jalan yang utama dan pertama menjadi cikal bakal kota
tersebut.[6]
Dari pernyataan di atas dapat ditarik pertanyaan mengenai siapa yang
mengkonstruksi ruang bernama jalan ini? Bagaimana ia diproduksi? Apa yang
direpresentasikan oleh ruang kota tersebut? Untuk siapa jalan tersebut dibangun
dan siapa yang paling diuntungkan dari pembangunannya? Membincangkan jalan raya
sebagai ruang, dimana proses produksi kapitalis berada di dalamnya, Lavebre
memberikan kita argumentasi alternatif. Bagi Lavebre ruang adalah tempat dimana
proses produksi dijalankan dan karena itu mesti dilihat bagaimana bentuk-bentuk
representasi ruang yang berada di dalamnya. ‘Representasi ruang, kata Lavebre,
sebagaimana dikutip George Ritzer dan Douglas J Goodman[7],
adalah ruang yang dikonsepsikan oleh para elit-elit sosial’.
Representasi ruang adalah ciptaan kelompok dominan.[8]
Klasifikasi jalan raya dan subjek-subjek yang secara
potensial bisa berada di dekatnya; jalan kecil (gang) serta bagaimana gang ini
dipersepsi dan dikonstruksi bagi subjek seperti apa; apa saja yang layak di
tempatkan di jalan raya dan apa yang harus di sembunyikan di gang; dimana saja
jalan utama, dimana sebuah gedung yang bermakna secara sosial layak di
tempatkan dan jalan seperti apa yang harus ada untuk menjadi sarana baginya;
jalan apa yang dikonstruksi dalam politik sebagai jalan yang ‘penting’. Siapa
yang menentukan itu semua? Di sinilah kita bisa melihat bahwa ruang,
sebagaimana dikonsepsikan Lavebre, adalah ruang yang dikonstruksi oleh elit. Elit
disini adalah kelompok sosial yang-baik dalam corak produksi kapitalis maupun
feodal- memegang kekuasaan untuk menentukan arah pembangunan dan perubahan
ruang. Jalan-jalan penting yang dekat dengan gedung-gedung publik, jalan raya
depan istana presiden, jalan mulus menuju pabrik-pabrik dan kompleks-kompleks
industri yang sering disaksikan di kota-kota adalah fakta-fakta historis
bagaimana ‘ruang direpresentasikan’ secara politis oleh kepentingan-kepentingan
elit sosial di tempat tersebut. Dan juga yang penting ditegaskan di sini bahwa
ruang ini semua lahir dipengaruhi oleh corak produksinya masing-masing. Seperti
dicatat Arianto Sangaji ‘Di dalam masyarakat dengan corak produksi kapitalis,
produksi ruang berorientasi kepada kepentingan kapital; komoditi harus bisa
diproduksi dan disirkulasi secara mudah. Menurutnya Lavebre, setiap masyarakat
— atau setiap corak-produksi — menghasilkan ruang untuk kebutuhannya sendiri.
Dengan kata lain, perbedaan corak produksi menciptakan ruang berlainan’.
Lafebvre
berpendapat bahwa ruang memainkan beragam peran di dunia sosio-ekonomi.
Pertama, ia dapat menjalankan peran salah satu dari begitu banyak kekuatan
produksi (kekuatan lain yang lebih tradisional adalah pabrik, alat dan mesin).
Kedua, ruang itu sendiri dapat berupa beragam komoditas yang dikonsumsi
(misalnya oleh pelancong yang mengunjungi Disneyland), atau ia dapat dikonsumsi
secara produktif (misalnya tanah tempat dibangunnya pabrik). Ketiga, secara
politis ia penting memfasilitasi control system (membangun jalan untuk
memfasilitasi gerak tentara untuk menghentikan pemberontakan). Keempat, ruang
memperkuat reproduksi hubungan produktif dan hak milik (misalnya
komunitas-komunitas mahal bergerbang bagi para kapitalis dan kawasan kumuh bagi
orang miskin). Kelima, ruang bisa berbentuk supra struktur yang, misalnya,
terlihat netral namun menyembunyikan basis ekonomi yang memunculkannya dan yang
jauh dari netral. Jadi system jalan raya bisa jadi terlihat alamiah namun
menguntungkan perusahaan kapitalis yang diizinkan memindahkan bahan mentah
secara mudah dan murah.[9]
Jadi dengan logika Lafebvre ini bisa dilihat bahwa jalan raya sebagai ruang bukanlah
sesuatu yang di luar konstruksi sosial sebagaimana makna-makna yang seringkali
diproduksi oleh resim teknokratik. Ia saling berkait dengan kondisi relasi
sosial dan relasi produksi yang memproduksi ruang tersebut. Jalan adalah ruang
khalayak, ruang negosiasi, ruang sosialisasi. Jalan dihidupi oleh budaya
manusia, dan ia hidup di dalam budaya kita, mendiami antara lain bahasa kita.[10]
Di dalam ruang ini, meminjam Laclau dan Mouffe, ada subjek politik yang sedang
berada dalam sebuah pertarungan posisi. Dalam masyarakat kapitalis, ruang
memiliki posisi yang sangat vital sebagai modal statis bagi produksi kapitalis
dan sebagai ruang dimana relasi eksploitasi dijalankan sekaligus disamarkan.
Kata Lafebvre ‘masalah terbesarnya adalah representasi ruang elit terlalu
mendominasi praktik spasial dan ruang representasional sehari-hari.[11]Karena
dominasi kelompok elit dalam representasi ruanglah maka subjek-subjek politik
lain yang berkepentingan dengan ruang tersebut melakukan langkah-langkah yang
memungkinkan untuk melakukan perang posisi agar mendapatkan ruang
representasional yang layak. Dalam kasus-kasusnya di berbagai tempat memperlihatkan
bahwa subjek-subjek politik seperti kaum miskin kota, mahasiswa dan elemen
sosial lain yang marjinal itu menjalankan politiknya dalam sebuah perang posisi
di jalan raya. Mereka mensubversi makna-makna yang ajeg dan seringkali
dijadikan makna maenstream oleh kelompok elit tentang siapa saja yang layak
dianggap pengguna jalan dan apa saja aktivitas yang pas dianggap sebagai
‘aktivitas’ di jalan raya. Jadi, bagi Lafebvre, jelas
bahwa ruang ini diproduksi dan direpresentasi oleh kelas elit tetapi dalam
produksi ruang oleh kelas elit ini elemen sosial lainnya juga secara aktif
melakukan perlawanan atas produksi dan representasi tersebut.
Setidaknya, realitas ini
ditanggapi Lafebvre lebih lanjut bahwa untuk mengkaji produksi ruang ada dua hal
yang mesti dikemukakan. Pertama, perhatian kita harus beralih dari sarana
produksi menuju ruang produksi. Kedua,
Lafebvre meletakkannya dalam konteks arah perubahan
sosial yang dikehendaki. Jadi, kita hidup di dunia yang ditandai oleh cara
produksi yang berlangsung di dalam ruang. Ini adalah dunia dominasi dimana control
dijalankan oleh Negara, kapitalis dan borjuasi.[12] Jalan sebagai ruang sosial dimana
pertarungan posisi terus terjadi antara subjek-subjek politik di dalamnya,
seringkali dimenangkan dominasinya oleh kelas elit, kapitalis dan bojuasi.
Mirip dengan Lafebvre
yang berkonsentrasi pada ruang, menurut Massey ruang sosial terbentuk secara
relasional dari eksistensi bersama antara hubungan dan interaksi sosial. Massey mengusulkan argumen pokok mengenai ruang:
-
Ruang
adalah sebuah konstruksi sosial
-
Dunia sosial terkonstruksi secara spasial
(berdasarkan ruang)
-
Ruang sosial tidak statis tapi dinamis,
terbentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang terus berubah
-
Ruang terkait dengan persoalan kekuasaan dan
simbolisme, yakni ‘geometri-kekuasaan’ ruang (Massey,
1994: 3)[13]
Jadi bagaimana ruang bernama ‘jalan raya’ itu diproduksi?
Mengikuti Lafebvre, harus dilihat ruang representasi dan kelompok dominan dan
corak produksi yang mengkonstruksi ruang tersebut. Dalam masyarakat kapitalis
pengandaian kontrol kekuasaan adalah mutlak berada di tangan kapitalis yang
menguasai sarana produksi dan juga ruang produksi. Atau dalam gambaran Arianto
sangaji ‘Di dalam masyarakat dengan corak produksi kapitalis,
produksi ruang berorientasi kepada kepentingan kapital; komoditi harus bisa
diproduksi dan disirkulasi secara mudah. Menurutnya, setiap masyarakat — atau
setiap corak-produksi — menghasilkan ruang untuk kebutuhannya sendiri. Maka, tentu, jalan raya dikonstruksi dan direpresentasikan
berdasar pada kepentingan dari kelompok dominan yang memproduksi ruang
tersebut, yakni kapitalis untuk akumulasi kapital. Meskipun kondisi ini
seringkali tidak disadari oleh elemen-elemen sosial yang menggunakan jalan.
Seperti dalam ungkapan Marco Kusumawijaya yang meneguhkan Lavebre berikut: ‘Tanpa
kita sungguh sadari, jalan-jalan kita telah (makin) dirancang dengan penuh bias
luar biasa, ialah dengan visi bahwa ia diutamakan bagi kendaraan bermotor,
bahkan lebih spesifik lagi bagi mobil pribadi. Dimensi jalan, permukaannya,
geometrinya, tanda-tanda padanya lebih menyapa mobil pribadi daripada pejalan
kaki atau sepeda.’
Jalan sebagai Model “Ekonomi Ruang”
kapitalisme
Selain
sebagai ruang sosial dalam makna seperti yang dikemukakan Lafebvre
di atas, jalan juga dipersepsikan oleh sebagian teoritisi sosial lainnya
sebagai model ekonomi ruang. Dalam argumentasi ini akan dikemukakan apa yang
disebut Harvey sebagai ekonomi ruang. Ekonomi ruang (space echonomy) bagi Harvey digambarkan dalam penjelasannya bahwa
‘pertukaran barang dan jasa (termasuk tenaga kerja) hampir selalu menimbulkan
perubahan-perubahan dalam lokasi. Pertukaran-pertukaran tersebut menimbulkan
serangkaian gerak spasial yang saling bertemu sehingga menciptakan suatu
geografi interaksi manusia yang khas. Gerak-gerak spasial ini terhambat oleh
adanya friksi jarak dan karena itu jejak yang mereka tinggalkan pada dunia
selalu merekam efek-efek dari friksi-friksi tersebut, dan sering menyebabkan
aktifitas-aktifitas menjadi terhimpun ke dalam ruang dengan cara-cara yang
meminimalisir friksi tersebut. Pengelompokan tenaga kerja secara teritorial dan
spasial (perbedaan antara desa dan kota merupakan salah satu bentuk perbedaan
awal yang paling mencolok) muncul dari pertukaran-pertukaran yang terjadi di
atas ruang ini. Aktifitas kapitalis karenanya menghasilkan pembangunan geografi
yang tak seragam, bahkan meski tidak ada perbedaan geografi dalam hal sumber
daya dan kesempatan-kesempatan fisik yang merupakan faktor bagi munculnya
logika diferensial dan spesialisasi regional dan spasial. Akibat kompetisi,
kapitalis-kapitalis individual mengejar keuntungan kompetitif dan memanfaatkan
struktur spasial ini dan karena itu cenderung untuk tertarik atau terdorong
untuk bergerak ke lokasi-lokasi dimana biaya-biayanya lebih rendah atau tingkat
labanya lebih tinggi. Surplus kapital di satu tempat bisa menemukan pekerja di
tempat lain dimana peluang-peluang yang menguntungkan belum lagi tergarap.
Keuntungan-keuntungan lokasi memainkan suatu peran yang sama bagi
kapitalis-kapitalis individual sebagaimana peran yang dimainkan oleh
keuntungan-keuntungan tekhnologis, dan dalam situasi-situasi tertentu,
keuntungan lokasi bisa mensubtitusi keuntungan tekhnologi.’
Apa yang disebut
ekonomi ruang oleh Harvey sebenarnya merupakan kelanjutan sekaligus kritik
Harvey terhadap konsep lavebre yang mampu menjelaskan bagaimana ruang
diproduksi tetapi tidak mampu merinci baaimana kapitalisme bertahan dalam
sebuah logika ruang. Pengakuan ini ditulis Harvey “kapitalisme mampu bertahan
hidup sedemikian lama melewati berbagai krisis dan reorganisasi serta lolos
dari prediksi-prediksi suram dari kalangan kiri maupun kanan yang meramalkan
bahwa kapitalisme akan runtuh tidak lama lagi. Daya tahan hidup dari
kapitalisme ini
Buku ini ditulis Oleh Drs. Ibrahim, M.Pd dan Muh. Ridha, S.Hi, MA sebagai Dosen Pengajar di UIN Alauddin Makassar . Untuk lebih lanjutnya mengenai buku ini silahkan di download di link di bawah ini.

0 Komentar