Pendahuluan:
Tentang pengertian dan sejarah singkat Filsafat
A.
Pengertian Filsafat
Secara umum bab ini menguraikan seputar pengertian umum, ruang
lingkup pembahasan filsafat,
dan sejarah kelahiran cara berfikir filsafati. Dengan demikian, bab ini sedapat
mungkin dimulai dari unsur paling mendasar dari studi buku ini yakni pengertian
filsafat baik secara etimologis maupun secara istilah serta menelusuri pendapat
tokoh-tokoh pemikir filsafat atas apa yang ‘disebut filsafat’. Selanjutnya, diuraikan
objek pembahasan filsafat seacar umum. Khusunya, sejarah perkembangan filsafat
Islam pada masa awal.
Secara etimologis, kebahasaan, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani
yang bersumber dari akar kata Pilos (cinta), Shopos (kebijaksanaan), tahu dengan
mendalam, hikmah. Filsafat menurut terminologi: ingin tahu dengan mendalam
(cinta pada kebijaksanaan). Menurut Ciceros (106-43 SM), penulis romawi, orang
yang pertama memakai kata-kata filsafat adalah Phytagoras (497 SM), sebagai
reaksi terhadap cendekiawan pada masanya yang menamakan dirinya “ahli
pengetahuan”. Phytagoras mengatakan bahwa pengetahuan dalam artinya yang
lengkap tidak sesuai untuk manusia. Tiap-tiap orang akan mengalami
kesukaran-kesukaran dalam memperolehnya dan meskipun menghabiskan seluruh
umurnya.
Namun Ia tidak akan mencapai tepinya. Jadi
pengetahuan adalah perkara yang dikaji dan yang diserap sebagian darinya tanpa mencakup
keseluruhannya. Oleh karena itu,
bagi Phytagooras filosof bukan
ahli pengetahuan, melainkan pencari dan pencinta pengetahuan[1].
Pengertian Phytagoras mengenai pencari pengetahuan inilah yang dianggapnya
sebagai pengertian hakiki menjadi seorang filosof.
Sedangkan menurut Sidi Gazalba kata
filsafat berasal dari bahasa Yunani. Bangsa Yunanilah yang pertama-tama berfilsafat, seperti yang lazim
dipahamkan orang sampai sekarang. Kata filsafat
bersifat majemuk yang berakar dari
kata Philos dan Sophia. Kata philos berarti
sahabat, sedangkan shopos yang
berarti pengetahuan dan atau bijaksana (Inggris; Wisdom, Arab: Hikmah).
Maka Philosopia secara etimologi bermakna
cinta terhadap pengetahuan bijaksana (mendalam), karena itu filosof mengusahakan untuk memilikinya[2].
Pudjawijatna menerangkan juga bahwa
“filo” artinya cinta dalam arti seluas-luasnya yaitu “ingin” dan karena
ingin maka filosof selalu berusaha untuk
mencapai yang diinginkannya. “Sofia” artinya kebijaksanaan, arinya pandai,
mengerti dengan mendalam. Syekh Mustafa Abdurraziq, setelah meneliti pemakaian
kata-kata filsafat di kalangan umat Islam, berkesimpulan bahwa kata-kata Hikmah
dan hakim dalam bahasa arab dipakai dalam arti “Filsafat dan Filosof” dan
sebaliknya, mereka mengatakan Hukama-ul-Islam
atau Falasifatul-Islam.[3]
Berdasarkan penjelasan umum di atas
jelaslah bahwa filsafat berasal dari kata bahasa Yunani yang secara umum
bermakna “cinta kepada kebijaksanaa”. Yaitu pengetahuan
yang mendalam (kebenaran). Pengertian
semacam ini digunakan secara luas oleh para pemikir filsafat dan para sejarawan
pemikiran. Meski demikian belum mampu menjelaskan dan merepresentasi arti kata
itu sendiri. Sebagiaman kata Sidi Gazalba, pengertian filsafat sendiri terdapat
pertikaian antara para pemikir filsafat mengenai pengertian filsafat ini. Kata
benda saja masih sering diperdebatkan defenisi dan batasannya apalagi arti kata
yang lebih absatrak seperti filsafat[4]. Karena itu, untuk melihat lebih luas mengenai
pengertian filsafat, bagian berikut ini akan memberikan pengertian filsafat
dari tokoh-tokoh pemikir barat maupun tokoh-tokoh pemikir Islam. Deskripsi ini
diharapkan mampu memberikan penjelasan betapa luas dan dalam khasanah berfikir
filsafat menurut tokoh-tokoh pemikir.
B.
Dari Barat hingga
Islam: Pengertian Filsafat dari berbagai tokoh
Filsuf
Barat
Pengertian filsafat yang telah
dideskripsika tersebut di atas baik menurut bahasa maupun menuru para pakar
(filosof), maka selanjutnya, berikut diketengankan pandangan filosof tentang
filsafat, baik filosof dari dunia Barat maupun pandangan filosof dari dunia
Timur.
Plato Mengatakan, filsafat tidaklah
lain daripada pengetahuan tentang segala yang ada. Masa/kurun plato belum tumbuh
differensiasi pengetahuan. Belum ada batas ilmu dan filsafat.
Aristoteles beranggapan kewajiban
filsafat adalah menyelidiki sebab dan asal segala benda. Dengan demikian
filsafat merupakan ilmu yang sangat umum.
Cicero mengatakan, filsafat
merupakan pengetahuan tentang ilmu tinggi-tinggi saja dan jalan untuk mencapai
ilmu itu. Filsafat ialah induk segala ilmu dunia, dan ilmu kepunyaan dewata.
Sekarang orangpun beranggapan, filsafatlah yang menggerakkan, yang melahirkan
berbagai ilmu. Suatu masalah yang dibicarakan filsafat dapat menggerakkan ahli
untuk melakukan riset. Hasil riset menumbuhkan ilmu.
Epicuros memandang filsafat sebagai
jalan mencari kepuasan dan kesenangan dalam hidup. Ia berguna buat praktek
hidup di dunia. Filsafatt membentuk pandangan dunia dan sikap hidup.
Pemikir era modern awal eropa
memberikan pengertian mengenai filsafat secara beragam. Imanuel Kant memberikan
pengertian mengena filsafat sebagai pokok dan pangkal segala pengetahuan dan
pekerjaan. Diajukannya empat pertanyaan untuk menggariskan lapangan filsafat:
1. Apa yang bisa
kita ketahui? Dijawab oleh filsafat metafisika
2. Apa yang boleh
kita kerjakan? Dijawab oleh filsafat etika.
3. Sampai
dimanakah pengharapan kita? Dijawab oleh filsafat agama.
4. Apakah yang
dinamakan manusia? Dijawab oleh filsafat antropologi.
Pengertian filsafat yang telah
dideskripsikan tersebut di atas menggambarkan bahwa filsafat adalah ilmu yang
meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Filsuf
muslim
Selanjutnya,
penulis mendeskripsikan para filosof muslim berikut ini;
Menurut Harun Nasution filsafat adalah berfikir menurut tata tertib
(logika) dengan bebas (tak terikat tradisi, dogma dan agama) dan dengan memikirkan sedalam-dalamnya hingga sampai
kedasar persoalan. Alfarabi (wafat 950 M) filsuf muslim terbesar sebelum Ibnu
Sina menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud
dan bertujuan menyelidiki hakekatnya yang sebenarnya[5].
Fuad Hassan, guru besar psikologi
universita Indonesia menyimpulkan bahwa filsafat adalah suatu ikhtiar untuk
berfikir secara radikal dalam arti mula dari radix suatu gejala dari akar suatu
masalah yang hendak dimasalahkan, dan dengan jalan penjajangan yang radikal
filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
Berbeda dengan Alfarabi yang menjelaskan bahwa filsafat ialah mengetahui semua
yang wujud karena ia wujud (al ilm bil maujudat bima hiya maujudah). Ihwan
al-Shaffa berargumen bahwa filsafat itu bertingkat-tingkat, pertama cinta
kepada ilmu, kemudian mengenai hakekat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia,
dan yang terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai ilmu[6].
C. Sejarah Perkembangan Filsafat
Filsafat awal berkembang pada
sekitar abad ke-enam hingga abad keempat SM. Banyak perdebatan mengenai siap
dan dimana pertama-tama muncul pemikiran filsafat. Tetapi yang paling dominan
mengisi penjelasan-penjelasan mengenai sejarah tumbuh dan berkembangnya
filsafat selalu kita berawal pada era Yunani (kuno dan klasik) ketika Thales,
Anaksimenes dan anaksimandro (yang banyak digolongkan sebagai filsuf kuno),
sokrates, plato ataupun arsitoteles (banyak digolongkan dalam sejarah pemikiran
sebagai pemikir klasik). Meski demikian di era yang hampir bersamaan sebenarnya
di tempat-tempat lain dunia sudah mula muncul para filsuf tersohor yang
pengaruhnya menghunjam jauh hingga kini. Sebagai permisalan saja dapat disebut
Sidarta Gautama (563-483 SM) seorang pemuda yang gelisah mencari makna hidup yang sesungguhnya; berkelana berkeliling India.
Akhirnya ia mengajarkan ketenangan dan kedamaian sebagai jalan hidup. Ia
kemudian dikenal sebagai “sang Budha”. Ide-idenya menentang seluruh India dan berbeda dengan ajaran Hindu. Ajarannya kemudian mengubah
dunia, menyebar ke seluruh India
hingga ke seluruh belahan dunia hingga kini[7].
Di era yang hampir bersamaan di Cina lahir dua
orang filsuf yang sangat
berpengaruh, yaitu
kongfusius (Kong Fusi) (551-479 SM) dan Lao-Tzu. Keduanya memberikan defenisi
filsafat cina yang menekankan harmoni sebagai keadaan ideal yang baik bagi
masyarakat maupun perseorangan; dan masing-masing berpegang pada pandangan yang
luas atas kehidupan seseorang[8]. Tidak hanya pada ketiga situs, di belahan
dunia yang telah disebutkan di atas saja, di timur tenga, persia seorang
bernama Zarathustra dari Balkh, atau zoroaster (kira-kira 625-551 SM) mulai
bergerak kearah monoteisme moral yang komprehensif. Zaratusra juga membela arti
etika yang sangat berpengaruh sebagai konflik antara kekuatan-kekuatan metafisika.
Ahura mazda berada di pihak baik, sebagai lawan dari kegelapan mutlak yaitu
jahat; dan menurut zarathustra, kebaikan dan keburukan sama-sama ada di dalam
diri kita semua[9].
Menurut penjelasan di atas, sejarah
filsafat dimulai diberagai belahan
dunia. Di Yunani, di India, Di China ataupun di timur tengah, dan lan
sebagainya. Tetapi mereka semua berada pada fase-fase yang disepakati sebagai
awal mula orang berfikir filsafat di sekitar abad keenam hingga abad keempat
sebelum masehi. Periode tersebut digambarkan oleh Robert C Solomon
dan Kathleen M Higgins (2003) bahwa di era ini adalah periode aksial dan asal
usul filsafat:
“Suatu ketika di
antara abad keenam dan keempat sebelum masehi, perkembangan luar biasa terjadi
di sejumlah daerah tempat
secara terpisah di seantero bumi. Di berbagai wilayah di selatan, di utara dan
di timur mediterania, di Cina, di India dan beberapa wilayah, pemikir kreatif
mulai menantang dan melampaui kepercayaan-kepercayaan religius, mitologi dan
folklor masyarakatnya yang sudah mapan. Pemikiran mereka makin abstrak.
Pertanyaan-pertanyaan mereka menyelidik.
Jawaban-jawaban mereka semakin
ambisius, semakin
spekulatif, dan semakin memicu
kemarahan. Mereka menarik para murid dan pengikut. Mereka membentuk sekolah,
pemujaan dan agama-agama besar. Mereka adalah “para filsuf” pencari
kebijaksanaan, yang tidak puas dengan jawaban-jawaban gampangan dan
prasangka-prasangka populer. Mereka mendadak muncul dimana-mana. Walaupun tidak
diketahui banyak tentang dunia intelektual yang mendahului mereka, bahkan
sangat sedikit tentang mereka, kita nyaris bisa memastikan bahwa karena mereka
dunia tak pernah lagi sama persis dengan dunia sebelumnya.
Sebagian terlihat di
pantai-pantai timur Mediterania, di Yunani, dan Asia Kecil (Turki masa kini).
Kelompok-kelompok kecil para filsuf yang serba ingin tahu dan kadang-kadang
bertabiat buruk ini mempertanyakan penjelasan penjelasan populer tentang alam
yang didasarkan pada tingkah dewa-dewi. Mereka adalah orang pintar, orang bijak,
yang percaya akan kecerdasannya sendiri, bersikap kritis terhadap opini
populer, dan persuasif terhadap para pengikutnya. Mereka mengkaji kembali
persoalan-persoalan kunomengenai asal-usul alam dan segala sesuatu. Mereka tak
puas lagi dengan mitos dan cerita-cerita yang lazim (yang dahulu menarik):
tentang persetubuhan tanah dengan langit, tentang Venus yang muncul di lautan
dan Zeus yang melontarkan halilintar. Mereka mula menolah konsepsi populer
mengena dewa-dewi demi bentuk-bentuk pemahaman yang kurang manusiawi (kurang
antropomorfis). Mereka mula menantang pengertian-pengertian akal sehat tentang
“sifat benda-benda” dan membedakan antara realitas “sejati” dengan penampakan
benda-benda.”
Gambaran
di atas menunjukkan bahwa semangat
berfikir para filsuf dimula pada abad keenam hingga abad keempat sebelum
masehi. Setelah periode itu, Robert C Solomon dan Kathleen M Haggins (2003)
menggambarkan dalam buku sejarah filsafat menggambarkan bahwa periode setelah itu kehidupan umat manusia berada dalam
kekeangan agama. Era ini disebut abad pertengahan, periode sekitar abad ketiga
Sebelum Masehi hingga sekitar abad ke 14 Masehi. Peride dimana dominasi agama
begitu kuat mempengaruhi alam pikiran manusia.
Tetapi
di belahan dunia yang lain, dipertengahan era kegelapan (abad pertengahan
eropa), peradaban Islam mulai muncul dan menjadi pembaharu pemikiran-pemikiran
filsafat yang diserap dari pemikiran
klasik Yunani, persia dan sejumlah peradaban lain yang mempengaruhinya. Hal
inilah kemudian yang menjadi rantai penjelas bagaimana “ilmu pengetahuan
modern” yang menimba ilmu amat dalam pada “Filsafat klasik Yunani” dapat
sampai ke pangkuan peradaban Eropa
modern di sekitar abad kelima belas Masehi.
Ada peran peradaban Islam dan para
filsuf muslim hal ini (akan
dibahas lebih rinci pada bagin ketiga buku ini).
Perlahan-lahan
filsafat menyebar kemana-mana dan menjadi semangat saman (zeit geist) untuk mempertanyakan, meragukan dan menggugat
kepercayaan-kepercayaan utama gereja dan istitusi-institusi yang menopang
legitimasinya di abad pertengahan. Hal inilah yang kemudian melahirkan apa yang
disebut para serawan sebagai renaisance, abad pencerahan. Era inilah yang
menjadi pintu masuk kelahiran ilmu pengetahuan moder hingga sampai kepada dunia
pengetahuan yang terspesialisasi dengan kompleks pada era dewasa ini.
Buku ini ditulis Oleh Drs. Ibrahim, M.Pd sebagai Dosen Pengajar Filsafat Islam di Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin Makassar . Untuk lebih lanjutnya mengenai buku ini silahkan di download di link di bawah ini.

0 Komentar